Senin, 17 Desember 2007

kuliah art

ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY:
KAJIAN SINGKAT TENTANG PERANANYA DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN POPULASI TERNAK
(Bahan Kuliah)
Y. Supri Ondho
Staf Pengajar Fakultas Peternakan UNDIP

PENDAHULUAN
Paradigma baru pembangunan bidang peternakan adalah menonjolkan visi bagi terwujudnya masyarakat yang sehat, produktif, kreatif melalui pembangunan peternakan yang tangguh serta berbasis sumberdaya lokal. Untuk mendukung keadaan tersebut perlu dilakukan langkah-langkah dan kebijakan yang nyata antara lain melakukan terobosan aplikasi teknologi reproduksi ternak. Lebih substansial lagi terobosan itu bertujuan untuk meningkatkan populasi, produktivitas, kualitas serta pembenahan kelembagaan terkait. Relevansi dari kebijakan itu hendaknya secara teknis dapat dimanifestasikan sebaik-baiknya kedalam program-program dilapangan yakni program pengembangan reproduksi dan perbibitan ternak melalui pemurnian, persilangan, penciptaan dan pelepasan bibit, pengembangan kawasan pembibitan, desentralisasi progran inseminasi buatan dan introduksi teknologi baru bidang reproduksi ternak.
Peningkatan populasi dan mutu ternak sapi (potong dan perah), kerbau, kuda, kambing, domba, babi kuda dan unggas merupakan harapan-harapan yang dinanti oleh petani ternak. Keadaan ini berkaitan untuk mengantisipasi semakin meningkat- nya konsumsi produk hasil ternak utamanya daging, susu, telur, kulit dari tahun ke tahun.

POPULASI TERNAK KITA DAN MASALAHNYA
Data statistik tentang populasi ternak di negara kita setelah terjadi masa krisis dari tahun ke tahun belum menunjukkan kenaikan yang berarti. Populasi sapi perah 334.000 ekor, sapi potong 12.103.000 ekor, kerbau 2.859.000 ekor, kambing 14.121.000 ekor, domba 7.502.000 ekor babi 9.353.000 ekor dan kuda 579.000 ekor. Data jumlah pemotongan sapi (potong dan perah) tercatat 1.898.500 ekor, kerbau 235.199 ekor, kambing 2.654.810 ekor, domba 1.119.165 ekor, babi 1.653.557 ekor dan kuda 10.229 ekor (Buku Statistik Peternakan, 1999).
Dari data tersebut berarti setiap tahun harus dilakukan peremajaan minimal sama dengan jumlah ternak yang dipotong, itu baru upaya untuk mempertahankan jumlah ternak belum meningkatkan jumlah. Menurut Utoyo (2003) kebutuhan peremajaan secara nasional setiap tahun diperlukan minimal 1.8 s/d 2 juta ekor sapi potong, 90 s/d 120 ribu ekor sapi perah, 300 s/d 350 ribu ekor kerbau, 2.5 s/d 3 juta ekor kambing dan 1.5 s/d 2 juta ekor domba.
Apabila program peremajaan dan peningkatkan populasi ternak hanya melalui kegiatan Inseminasi Buatan (IB) maka untuk kebutuhan peremajaan saja khususnya pada sapi potong harus tersedia 4 sampai 5 juta semen beku dan sapi perah 500 s/d 800 ribu dosis semen beku setiap tahunnya (dengan perkiraan service preconception Ê 2). Kita ketahui bahwa kebutuhan semen beku tersebut sebagian dapat dipenuhi oleh pabrik-pabrik semen beku dari dalam negeri (Lembang-Jawa Barat, Singosari-Jawa Timur, Ungaran-Jawa Tengah, Sumedang-Yogyakarta).
Kelahiran ternak (sapi potong, sapi perah dan kerbau) hasil IB dan kawin alam (KA) baru mencapai jumlah antara 500 ribu s/d 1.5 juta ekor per tahun secara nasional, ini berarti masih belum dicapai kondisi yang optimal dalam mempertahankan populasi ternak kita. Sehingga kalaupun sampai saat ini kita masih dengan mudah dapat memperoleh daging sapi, susu dan sebagainya sebenarnya sebagian masih tergantung impor dari luar negeri (ternak hidup dan hasil ikutannya) dan sebagian lagi masih mengandalkan ternak-ternak hasil kawin alam.
Populasi ternak di Jawa Tengah tahun 1999 tercatat jumlah sapi potong kurang lebih 1.251.366 ekor, sapi perah 107.347 ekor, kerbau 196.754 ekor , kambing 3.043.383 ekor, domba 1.842.188 ekor, babi 103.907 ekor dan kuda 16.959 ekor (Kasbollah, 2000). Sementara angka pemotongan sapi potong di Jawa Tengah tercatatat 204.755 ekor pertahun kira-kira hanya dapat menyediakan daging 41.142 ton sedangkan setiap tahun Jawa Tengah membutuhkan kurang lebih 214.338 ton (Buku Statistik Peternakan, 1999). Sehingga kekurangannya masih dipenuhi oleh impor dari luar provinsi/negeri dan daging yang berasal dari ternak selain sapi (domba, kambing dan unggas) demikian pula halnya dengan kebutuhan susu. Saat ini untuk menambah populasi ternak secara nasional masih dilakukan dengan program IB serta hasil kelahiran dari kawin alam, kedepan program ini tetap menjadi tumpuan karena 80 persen wilayah Indonesia masih belum terjangkau program IB.
Dari data diatas kelihatan bahwa untuk mempertahankan populasi ternak dan kebutuhan daging sapi baik secara regional maupun nasional belum optimal, ketergantungan terhadap impor ternak dan hasil ikutannya masih cukup besar. Seiring dengan program-program peningkatan populasi ternak yang sedang dilaksanakan maka teknologi baru dibidang reproduksi perlu segera diintroduksi.

ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY (ART) APA ITU ?
Seperti telah diuraikan didepan bahwa menggantungkan pertambahan populasi ternak hanya dengan inseminasi buatan, kawin alam atau impor ternak rasanya akan semakin sulit untuk mengejar kebutuhan ternak baik secara regional maupun nasional. Untuk itu harus dilakukan berbagai upaya intensifikasi termasuk pemanfaatan ilmu dan teknologi dibidang reproduksi ternak. State of ART, suatu pernyataan yang mengandung arti aplikasi gabungan teknologi-teknologi reproduksi dalam mendukung proses memperbanyak jumlah individu (ternak), pada dasawarsa terakhir telah diperkenalkan yakni gabungan dari sejumlah teknologi reproduksi yang dapat membantu meningkatkan kemampuan hewan betina untuk berhasil memperoleh kebuntingan, dikenal dengan nama Assisted Reproductive Technology (ART).
Teknologi yang termasuk ART antara lain ovulation manipulation (OM), in vitro fertilization (IVF), embryo transfer (ET) gamete intra-Fallopian transfer (GIFT), zygote intra-Fallopian transfer (ZIFT) (Hafez, 1993, Perlue, 2004), intracytoplasmic sperm injection (ICSI), subzonal sperm insertion (SUZI) (Gordon, 1994), kloning, dll. Berikut ini uraian singkat tentang ART.

OVULATION MANIPULATION
Atau disebut manipulasi proses ovulasi, setiap ovarium/indung telur mamalia mengandung ratusan bahkan ribuan oosit/sel telur akan tetapi oosit yang kemudian dibuahi dan berlanjut mencapai kebuntingan atau menjadi individu baru sangatlah sedikit. Hal ini berkaitan dengan kemampuan ovulasi dari suatu individu. Umumnya secara alamiah kejadian ovulasi/ pelontaran sel telur dari ovarium mamalia tergantung jenis ternak dan periode/siklus berahinya serta dalam jumlah yang sedikit (kurang lebih 2 s/d 10 sel telur). Dipandang dari sisi waktu (siklus berahi) masih cukup lama dan jumlah sel telur yang diovulasikan sedikit Manipulasi terhadap terjadinya ovulasi diharapkan lebih efisien dalam mempercepat waktu dan meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan. Teknik yang dapat dilakukan adalah dengan menginduksi ovarium hewan betina menggunakan obat/hormon secara terprogram. Pada umumnya menstimulasi sel telur untuk mampu menjadi matang dalam jumlah banyak digunakan hormon–hormon gonadotropin (FSH, PMSG) ovulasi dapat di induksi dengan menggunakan LH ataupun hCG.

IN VITRO FERTILISASI
In vitro fertilisasi adalah proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa diluar tubuh pada lingkungan yang terkontrol. Hewan betina terlebih dulu ditingkatkan kesuburannya dengan melakukan pemberian obat/hormon/nutrisi sebagai stimulasi untuk memproduksi sel telur dengan kualitas yang bagus serta dalam jumlah banyak (menggunakan teknologi OM). Sel telur dapat dikoleksi dari ovarian dengan berbagai cara yaitu aspirasi/hisap, sayatan, injeksi media ataupun dengan ultrasonografi (Supri Ondho, 1998). Sel telur yang didapat kemudian dilakukan proses pematangan/ maturasi. pada tingkat kematangan tertentu baru kemudian dipertemukan dengan spermatozoa yang telah dikapasitasi. Proses pembuahan dilaksanakan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam petridish yang berisi medium. Apabila terjadi pembuahan, maka sel telur berkembang menjadi zigot dan kemudian berlangsung proses cleavage sampai terbentuk embrio (morula ataupun blastula). Terhitung dari saat pembuahan, sebagai contoh pada sel telur sapi sampai terjadi embrio memerlukan waktu 6 s/d 7 hari, kambing/domba 4 s/d 5 hari. Keseluruan proses itu mulai dari pematangan sel telur, kapasitasi spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio berlangsung dalam petridish dan harus berada didalam ruang yang terkontrol (kandungan CO2, kelembaban, temperatur, pH medium, dll).

EMBRIO TRANSFER
Teknologi ini mulai diintroduksi di Indonesia pada dekade 1980-an. Sampai tahun 2000 kelahiran pedet hasil TE di negara kita masih dibawah 500-an ekor. Secara teoritis program TE ini sangat menjanjikan karena seekor betina donor embrio dapat menghasilkan kurang lebih 20 ekor pedet kualitas unggul per tahunnya.Masih rendahnya kelahiran pedet hasil TE membuktikan bahwa perkembangan TE di negara kita masih lamban. Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain ketersediaan embrio (beku atau segar), biaya operasional TE yang tinggi (sekitar Rp 500 s/d Rp 600 ribu rupiah untuk transfer sebuah embrio), kelembagaan yang belum mantap, tenaga ahli masih sedikit, peralatan TE yang terbatas, dll.
Program TE adalah serangkaian proses yang berawal dari penyediaan embrio unggul suatu ternak sampai dengan mendeposisikan embrio tersebut pada uterus. Koleksi dan penempatan embrio pada saluran organ reproduksi betina (kornua uteri) dapat dilakukan dengan tanpa operasi/non surgical ataupun dengan operasi/ surgical. Pada umumnya pelaksanaan transfer embrio tanpa operasi dilakukan pada hewan-hewan besar (sapi, kerbau) sebaliknya transfer embrio pada hewan-hewan kecil (kambing, domba, kelinci) dilakukan dengan operasi.
Untuk memperoleh embrio dapat dipenuhi embrio dari hasil IVF ataupun dari embrio yang berasal dari hewan betina donor. Hewan betina donor merupakan hewan betina unggul/terseleksi terhadap sifat-sifat (produksi) yang dikehendaki dan telah dikawinkan baik secara alam atupun inseminasi buatan dengan pejantan yang unggul pula, sehingga akan dapat dipanen embrio yang juga mempunyai sifat-sifat unggul. Kemudian embrio-embrio yang diperoleh ditransfer ke hewan betina resipien. Hewan betina resipien adalah hewan betina yang harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menerima embrio dari hewan donor serta mampu sebagai tempat berkembang- nya embrio tersebut sampai menjadi foetus dan melahirkan individu baru.

KLONING
Teknologi ini menjadi booming di dunia pada sekitar bulan Juli 1997 ketika di laporkan hasil penelitian Ian Wilmut dari Roslin Institut Skotlandia tentang lahirnya seekor domba hasil kloning yang diberi nama Dolly. Kloning pada hewan adalah usaha untuk mengembangbiakkan suatu individu tanpa mengubah material genetik dari induknya (sifat individu baru yang dilahirkan sama dengan induk yang diklon). Teknik kloning dilakukan melalui rekayasa sel dengan memindahkan intisel somatik sebagai pembawa materi genetik induk kedalam sel telur yang diambil dari induk lainya.
Prinsipnya adalah sejumlah sel telur yang telah dikeluarkan inti selnya kemudian diganti inti berisi material genetik dari sel somatik induk hewan yang di-klon. Penyatuan antara sel telur dengan inti berisi materi genetic baru distimulasi oleh arus listrik (mirip kejadian fertilisasi), maka sel telur tersebut akan mengalami pembelah- an menjadi embrio. Embrio-embrio yang terjadi (tahap morula/blastula) kemudian di-transfer ke betina-betina resipien. Betina-betina resipien itu sebagai tempat untuk ber- kembangnya embrio-embrio tersebut sampai dengan dilahirkan menjadi individu-individu baru. Setidaknya terdapat enam tahapan dalam pelaksanaan kloning yaitu:
Mempersiapkan hewan atau sebagai donor sel telur, sebenarnya yang paling pokok adalah donor dapat menyediakan sel telur dalam jumlah yang cukup banyak. Sel telur itu dapat dikoleksi dari ovarium hewan donor baik in vivo maupun in vitro. Nukleus pada setiap sel telur yang didapatkan di keluarkan, sehingga sel telur itu tidak mengandung inti disebut sel enukliasi.
Menpersiapakan hewan sebagai donor material genetic (hewan yang akan diklon), hewan ini akan diambil sejumlah nukleusnya (mengandung material genetik) dari sel somatiknya (sel ambing misalnya).
Penggabungan antara sel enukliasi dengan nukleus berisi material genetik, proses pengabungan ini dilakukan dengan memindahkan inti berisi material genetic kedalam sel enukliasi yang dikuti dengan pemberian arus listrik sehingga terjadi stimulasi listrik mirip kejadian pembuahan meskipun tanpa kehadiran spermatozoa.
Mengamati perkembangan embrio, setelah terjadi penggabungan maka terjadi pembelahan sel blastomer dan terbentuklah embrio.
Melakukan transfer/implantasi embrio dalam uterus resipien, embrio-embrio itu kemudian ditransfer kedalam kornua uteri dengan menggunakan teknik transfer embrio dan membutuhkan sejumlah resipien.Mengamati proses kebuntingan dan kelahiran, resipien yang telah menjadi bunting dan kemudian melahirkan maka individu yang dilahirkan mempunyai penampilan genetik dan eksterior yang sama dengan induk donor material genetik.

GIFT dan ZIFT
Pada kasus-kasus infertilitas tertentu pada hewan betina transfer gamet (sel telur dan spermatozoa) dan zigot dapat dilakukan. Deposisi keduanya (gamet dan zigot) pada tuba Fallopii. GIFT dilakukan dengan mendeposisikan sel telur yang telah matang dan spermatozoa secara berurutan menggunakan jarum/kateter kedalam salah satu posisi di tuba Fallopii. Sel telur dan spermatozoa diharapkan langsung dapat melakukan proses pembuahan secara alami di saluran itu. Selanjutnya hasil fertilisasi akan berkembang menjadi individu baru.
ZIFT, teknik ini hampir mirip dengan GIFT, perbedaanya adalah yang ditransfer sudah berwujud zigot dengan lokasi penempatan yang sama. Sebelumnya zigot dikultur dengan teknik fertilisasi in vitro yakni mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam petridish.

ICSI dan SUZI
Secara normal proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa dilakukan dengan aktivasi spermatozoa dalam melakukan kapasitasi, kemudian reaksi akrosom untuk mengaktifkan sel-sel yang terdapat dalam akrosom untuk menghasilkan enzim-enzim guna menembus material-material yang menyelimuti sel telur (sel-sel kumulus) dan dinding sel telur (zona pelusida). Menurut Bazer et al., (1993) terdapat 9 macam enzim yang disekresikan oleh akrosom (hyaluronidase, proacrosin, esterases, phospolipase A2, acid phosphatase, aryl sulphatases, beta-N.acetylglucosaminidase, aryl amidase, dan non specific acid proteinases) untuk mendukung penetrasi spermatozoa kedalam sel telur. Ada kalanya karena berbagai hal spermatozoa tidak mampu melakukan penetrasi secara alamiah, hal ini dapat diatasi dengan teknik ICSI dan SUZI.
Pada teknik ini spermatozoa baik secara individu/kelompok distimulasi untuk lebih mempunyai potensi membuahi sel telur dengan perlakuan-perlakuan khusus. Spermatozoon terseleksi dimasukkan kedalam sel telur melalui mikroinjeksi. Deposisi spermatozoon pada sitoplasma sel telur dikenal dengan teknik intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Apabila spermatozoon dideposisikan pada tempat diantara zona pelusida dan sitoplasma disebut subzonal sperm insertion (SUZI).

ART, GABUNGAN TEKNOLOGI REPRODUKSI
Jika kita cermati masing-masing tulisan tentang teknologi reproduksi yang termasuk ART, bahwasanya untuk aplikasi salah satu teknologi reproduksi tidak dapat berdiri sendiri tetapi melibatkan jenis teknologi reproduksi yang lain. Sebagai contoh program kloning, keterlibatan unsure-unsur IVF (koleksi sel telur, penggabungan inti), TE (deposisi embrio ke betina resipien), dll mutlak perlu, contoh lain program TE teknologi manipulasi ovulasi (memperoleh kualitas embrio yang bagus dalam jumlah banyak), IVF (penyediaan embrio) dan IB ikut mendukung. Demikan pula dengan jenis teknologi reproduksi lainnya. OM akan berakibat terhadap keberhasilan panen sel telur. Sel telur sebagai bahan baku embrio tersedia dalam jumlah dan kualitas memenuhi berakibat keberhasilan TE demikian seterusnya aka terjadi keterkaitan ART tersebut, apabila kondisi ini terjadi bukan tidak mungkin akan tercapai keberhasilah kebuntingan sampai dengan kelahiran ternak.

ART, DONGKRAK POPULASI TERNAK ?
Jika didepan tulisan ini tersirat kekhawatiran terhadap kesulitan dalam mempertahankan atau mencegah merosotnya populasi ternak-ternak kita pada tingkat regional maupun nasional lalu muncul pertanyaan, mampukah ART itu sebagai teknologi yang dapat mempertahankan/meningkatkan populasi ternak kita? berapa banyak/persen peningkatannya ?
Sejauh ini kita masih harus melakukan penataan diseluruh lini yang terkait dengan aplikasi ART. Mulai dari aspek perencanaan, dukungan dana dan peralatan, strategi operasional, kelembagaan mulai tingkat pusat sampai daerah, kerjasama antar lembaga dll. Peran kita (dosen, peneliti, mahasiswa) tidak lebih menjadikan ART itu sebagai teknologi yang dapat dikembangkan melalui berbagai penelitian, uji coba dan sosialisasi untuk memperoleh model-model aplikasi ART tersebut lebih mudah, murah efisien agar dapat lebih bermanfaat bagi usaha peningkatan populasi ternak.
Menurut pengertiannya, ART sebenarnya tidak saja sebagai kelompok teknologi sebagai pendukung keberhasilan individu betina untuk berhasil bunting, tetapi harus pula diikuti dengan kelahiran ternak Harapannya adalah dalam waktu yang tidak terlalu lama ternak-ternak kita dapat meningkat jumlahnya dengan kualitas yang baik.

KESIMPULAN
Untuk mencukupi kebutuhan produk-produk asal ternak saat ini dan masa yang akan datang, upaya peningkatan populasi ternak harus mendapatkan perhatian. Introduksi teknologi terkait segera dilaksanakan bersama-sama oleh lembaga teknis/ pemerintah, perguruan tinggi, kalangan swasta agar secepatnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengguna (mis: petani-peternak, perusahaan dll).


DAFTAR PUSTAKA

Bazer, F.W., R.D. Geisert and M.T. Zavy. 1993. Fertilization, Cleavage, and Implantation. In: Reproduction in Farm Animals. 6th Ed.Lea & Febiger. Philadelphia.

Buku Statistik Peternakan. 2000. Diterbitkan atas Kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)-Jakarta

Gordon, I. 1994. LaboratoryProduction of Cattle Embryos. CAB International Biotechnoloy in Agriculture Series. Dublin Irekand.

Hafez, E.S.E. 1993. Assisted Reproductive Technologiy: Ovulation Manipulation, In Vitro Fertilization/Embryo Transfer (IVF/ET). Reproduction in Farm Animals. 6th Ed.Lea & Febiger. Philadelphia.

Kasbollah. 2000. Perencanaan Strategik Tahun 2000-2005. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah. Tarubudaya-Ungaran.

Perlue, M. 2004. Encarta Reference Library 2004. Encarta Encyclopedia-Microsoft Corporation.

Supri Ondho, Y. 1998. Peningkatan Pematangan Oosit dan Perkembangan Embrio Domba In Vitro Melalui Penambahan FSH, Estradiol-17 beta dan Kokultur Sel Epitel Tuba Fallopii kedalam TCM-199. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi.

Utoyo, D.P. 2003. Isu-isu Perbibitan Nasional. Paper disampaikan pada Pertemuan Komisi Bibit Ternak Nasional, Tanggal 23-24 Juni di Cisarua-Bogor.

Tidak ada komentar: